Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2022

salon motor dan Bayang-bayang semu

saat service motor SAYA hanya bisa geleng2 melihat begitu lihai kiri-kanan tangan Hadi--si tukang salon motor, saat mendandani tunggangan sy tadi pagi. Saya singgah ke tempat itu, selepas mengantar anak sekolah. Sehari-hari, Hadi, menghabiskan waktu menyaloni puluhan motor, mobil, aneka merek. Halaman teras rumahnya, ia jadikan tempat berkreativitas. Tak heran, dia tak perlu buru2 dikejar waktu hanya utk berangkat ngantor. Rumah mungil dan sederhana itulah yg ia jadikan tempat mendulang pundi-pundi rupiah. Yg unik bagi saya, Hadi, tidak butuh atribut seperti plank nama untuk promosi tempat kerjanya seperti kita lihat kebanyakan tempat di sektor bisnis (barang-jasa). Dia menggeser simbol2 promosi yg kerap kamuflase, itu dg bukti konkrit (hasil kerja) dan trust dari ratusan pelanggan.  "Saya gak pasang plank saja, insya Allah banyak pelanggan yg datang. Bahkan sy kewalahan. Apalagi salon motor ini, saya bikinin plank," kata  pria yang alumnus salah satu pesantren di

desa dan ilusi

( FOTO : saat diberi kesempatan menjadi narasumber dalam kegiatan pemberdayaan desa dan literasi digital sekaligus promosi madu) Di tengah massifnya perkembangan IPTEK, tidak sedikit desa-desa yang belum maksimal memanfaatkan teknologi untuk berbagai kebutuhan. Bahkan oknumnya 'cuek-bebek' bila ada diskusi, sharing berbasis literasi, peningkatan skil dan pengetahuan. Berbagai kegiatan yang menelan anggaran besar, terkesan seremoni belaka, tanpa menghasilkan produk yang jelas dan langsung berdampak pada masyarakat. Tak heran kemudian, sederet rencana, program 'desa' yang menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat belum bisa dipenuhi alias gagal 'total'. Yang ada hanya, kesan seremoni, nihil substansi.  Jika itu terjadi terus menerus, belum lagi tidak didukung daya kritis masyarakat--lantaran dibendung 'tangan besi' kepala desa yang kadang merasa paling wah--maka harapan mewujudkan desa yg mandiri dan berdampak pd kesejahteraan masyarakat ha

Saya dan anugerah kedua dari tuhan

saat anak yang ke-2 bernama Rapal digendong RAPAL EN-NAKFI MASYHUR. Inilah nama yang kusematkan pada anak saya yang kedua. Rapal itu artinya ucapan. Bisa juga 'mantra' dan atau 'doa'. Sedang kata kedua En-Nakfi itu sy comot dari  kata dasarnya yakni Nakfi (arab; kafa) Artinya cukup, dicukupkan. Kata 'Nakfi' sendiri saya pakai karena saya terinspirasi salah satu ekonom muslim, asal India. Pikiran, gagasan bernas pakar ekonomi Islam asal India itu, sangat saya sukai. Terutama gagasannya mengenai konsep ekonomi dalam Islam. Pesan filosofis lain, kenapa saya sematkan tiga kata pada Nama nak saya itu, pertama ' Rapal '. Saya berharap ketika kelak ia tumbuh dewasa, dia menjadi sosok 'pendoa'. Selalu berdoa pada Tuhan baik ketika bahagia, lebih-lebih saat-saat dihadapkan pada ujian dan tantangan hidup yang membentang. Kedua, Nakfi. Kata kedua ini, saya harapkan melekat dalam dirinya.  Lebih dari itu, tidak hanya tumbuh dalam dirinya melaink

Kesal dengan Ulah Kita sendiri

Kadang kita sering bikin ulah sendiri. Misalnya kalau bertamu, bawa rokok, tapi tidak bawa korek. Ada juga 'uduter' yg hanya bawa korek tapi rokok gak bawa. Tak heran selepas asyik ngobrol lalu  bubar, pasti beberapa dari mereka, yg tadinya gak bawa korek, begitu pulang malah bawa atau punya korek. Yang tadinya bawa korek justru kehilangan korek. Percakapan : "ini korek saya, itu percek milikmu", pun sering jadi dialog penutup. Buktinya, di gambar ini. Kemarin beberapa rekan sekitar sepuluh orang mampir di rumah. Tujuh di antara mereka adalah perokok 'kelas berat'. Saat bubar, mereka pamitan. Sbagai tuan rumah yang baik, sy antar mereka hingga ke luar gerbang halaman rumah. Setelah menghidupkan gas motor, mereka melaju kencang. Hitungan sekejap hilang di tikungan jalan. Begitu saya balik ke tempat duduk, dan merapikan gelas bekas kopi dan sebagainya, kulihat percek 2 buah dan korek api kayu satu buah. Pas lagi mau angkat tiker, eh keselip lagi di b