unk picture
agama kita tidak mengenal sama sekali orang yang berada dalam posisi tidak berbuat apa-apa (tidak melakukan aktivitas sosial ekonomi) baik untuk iri pribadi terlebih orang lain
ISLAM, sebagai agama yang memiliki kesempurnaan tiada banding, suatau hal yang pasti bahwa tidak ada ajaran di dalamnya yang menutup ruang bagi perkembangan dan kemajuan hidup dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan. Tak terkecuali di bidang ekonomi.
Khususnya di bidang ekonomi, dalam hal ini, aktivitas sosial ekonomi, Islam melarang pemeluknya untuk jadi pengangguran.
Sebaliknya, Islam menekankan pemeluknya, siapa saja untuk senantiasa rajin dan menolak semua bentuk dan ragam kemalasan? Ada ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tujuan manusia diciptakan oleh Allah ke muka bumi, adalah bertujuan ibadah (QS.Al-Dzariyat: 56).
Dari ayat tersebut dapat dicermati bahwa sesungguhnya, manusia hidup di muka bumi ini memiliki tujuan yang jelas. Karena tujuannya jelas, maka setiap manusia, tanpa kecuali harus meniti jalan yang diarahkan ‘jelas’ oleh Allah tersebut. Jika tujuan yang ingin dicapai jelas, maka cara dan metode serta pendekatannya pun memiliki tahapan-tahapan, langkah-langkah yang tepat, atau dalam bahasa ilmu organisasi dan atau manajemen, yaitu terstruktur. Ini menunjukkan bahwa ada perintah untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada tujuan yang ditempuh. Islam menganjurkan agar setiap orang diharapkan tidak meminta-minta. Malah, Islam mendorong pemeluknya agar berperan sebagai pemberi (al-yadul ulya, khairum min al-yadus as-supla: tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah). Hadist lain yang artinya, “Dunia ini bergetar, tidak ridho, kalau orang yang masih sehat tidak mampu melakukan apa-apa”. Melarang menjadi beban kehidupan orang lain/tetangga, melarang sikap malas, membenci segala bentuk sikap pasif dalam sesuatu yang ditujukan untuk sesuatu yang mulia. Sebaliknya, agama Allah mengharuskan, mewajibkan setiap orang untuk menghilangkan segala bentuk-bentuk dan praktik sikap (pasif) melainkan aktif (melakukan sesuatu), terlebih lagi dalam urusan ekonomi.
Setiap muslim, dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk selalu bangun pagi untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, Islam memotivasi pemeluknya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat (bekerja), bukan terlena dengan sikap malas dengan tidur kembali. Ini menunjukkan betapa Islam, bagi setiap orang--untuk bertindak aktif. Apakah ini tidak cukup bagi kita untuk berfikir bahwa agama melarang sikap malas?.
Kalau sikap malas, tidak mau bekerja dan enggan mencari nafkah, bagaimana seseorang bisa memenuhi kewajiban untuk memelihara, menjaga diri dan keluarganya? Sangat mustahil sesuatu yang kita inginkan tiba-tiba ada di hadapan kita. Segala sesuatu yang diinginkan pasti melalui proses, tak ada yang serba tiba-tiba, melainkan harus ada tindakan-tindakan dari seseorang yang menginginkan sesuatu itu.
Terdapat satu kisah menarik. Kisah ini menceritakan tentang sikap malas. Setidaknya, bisa menjadi gambaran bahwa Islam melarang umatnya; jadi pengangguran.
Seorang Imam Abu Hanifah. Suatu ketika sedang berjalan-jalan. Beliau melewati sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka. Pada saat itu beliau mendengar suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandung kata-kata, “Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Aku seorang pengangguran. Sejak pagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas ihsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik.”
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, lantaran Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif, bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis haqqul yakin bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini
Mendengar keluhan itu, ada perasaan yang dirasakan Abu Hanifah. Tanpa berpikir panjang, beliau balik pulang ke rumah. Dibawanya, bingkisan untuk ia berikan kepada orang itu. Dia pun sampai ke rumah orang itu dan melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya. Sesaat kemudian, si malang kaget melihat bingkisan yang tergeletak di sekitar rumahnya. Dalam hati si malang bertanya, “dari mana datangnya bingkisan ini?’ “Siapa yang menaruhnya?”. Namun demikian, tanpa berpikir panjang, si malang, dengan cepat mendekatinya, lantas membuka bingkisan tersebut. Setelah dibuka, ternyata bungkusan itu berisi uang dan secarik kertas yang bertulis, ”Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak perlu mengeluh tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah SWT dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus.”
Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melewati rumah itu lagi. Suara yang sama beliau dengar, seperti pertama kali mendengarnya. “Ya Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak memberiku, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai penentu nasibku.”
Mendengar keluhan itu lagi, Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu sangat gembira mendapat bungkusan itu. Lantas ia membukanya. Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada carikan kertas lalu dibacanya, “Hai kawan, bukan begitu cara memohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian, tiada lain dan tiada bukan; adalah perbuatan malas. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan berbuat demikian. Hendaklah bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak boleh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Saya doakan semoga cepat sukses.” Setelah selesai membaca surat itu, dia termenung. Dia insaf dan sadar akan kemalasannya karena selama ini dia tidak berikhtiar dan berusaha. Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak melupakan nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut, bagaimana agar seorang muslim tidak boleh diam berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu apapun yang bisa merubah hidupnya. Ada satu riwayat dari seorang Abu Zar dan Al-Hakim, “Sesungguhnya Ruhul Qudus membisikkan bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itulah kamu harus bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Jika datangnya rezeki itu terlambat maka jangan memburunya dengan bermaksiat karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan taat pada-Nya.”
Di sinilah semakin tergambar pentingnya memahami ekonomi syariah. Prinsip sistem ekonomi syariah adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan. Capaiannya adalah membawa perekonomian nasional pada pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan kokoh menghadapi krisis (Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia/MES-I, 2009-2023: 32).
Ekonomi syariah adalah ajaran praktik yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam. Segala bentuk praktik termasuk segala bentuk tindakan pasif (diam), seperti pengangguran, tidak diperkenankan titah ilahi yang terkandung dalam ajaran Islam. Banyak sekali pesan-pesan religius yang mendorong setiap orang untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi. Aktivitas sosial ekonomi, bisa menghasilkan manfaat yang banyak bagi kehidupan. Ajaran ekonomi syariah, sebagaimana diungkapkan Syafi’i Antonio “Memplaning untuk mereduksi pengangguran” menunjukkan bahwa gagasan-gagasan ekonomi syariah turut serta berupaya mengatasi problem ekonomi bangsa, pengangguran, upaya mengentaskan kemiskinan dan sebagainya.
Sikap nganggur (pengangguran) tidak ada dalam Islam. Al-Qur’an surat Al-Hud (ayat 6) menjadi jawaban bahwa Islam tidak mengajarkan pemeluknya jadi pengangguran: “Dan tidak ada satu hewan melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (laukhil mahfuzd).”
Pengangguran Beragam Jenis
Bicara tentang pengangguran, memang akan banyak hal dibahas dan diuraikan. Hal ini karena pengangguran ini beragam jenisnya. Dalam konsep umum, misalnya, menganggur tidak disamakan dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja. Orang yang tidak mau bekerja, tidak dikatakan sebagai pengangguran. Sebab jika dia ingin mencari pekerjaan (ingin bekerja), mungkin akan segera mendapatkannya. Jadi, singkat kata, definisi ekonomi tentang pengagguran tidak selalu identik dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang baru dikatakan mengangggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak mendapatkannya.
Gambaran di atas, tentu akan semakin memberikan sesuatu yang ndjlimet, sehingga yang tidak diperbolehkan agama sebagai kata pengangguran adalah yang mana dan konteks apa?. Pengangguran yang dimaksud dalam tulisan dan menjadi fokus; penganggguran yang melahirkan sifat malas, sama sekali tidak mau bekerja dan melakukan hal-hal positif agar memberi dampak ekonomi yang positif bagi diri, kelompok, masyarakat dan negara. Ini adalah kriteria umum pengangguran yang tidak dibolehkan dalam agama.
Dalam tulisan ini, akan dikemukakan beberapa point penting sejauh pemahaman penulis tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganggguran. Yang umum pengangguran bisa disebabkan; pertama, oleh adanya gap yang tajam antara angkatan kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja. Pendek kata, terjadi ketidakseimbangan apabila jumlah angkatan kerja lebih besar dari pada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang. Kedua, struktur lapangan kerja tidak seimbang. Ketiga, jumlah jenis tenaga terdidik dan tersedianya kesempatan kerja yang tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pedidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia. Keempat, adanya peningkatan peran dan aspirasi angkatan kerja wanita dalam seluruh struktur angkatan kerja Indonesia. Kelima, penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang. Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerahh lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya. Keenam. Kebijakan juga sering menjadi akibat yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Adanya keberpihakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang hanya memberi dukungan saja waktu pemilu juga menjadi bagian dari penyebab terjadinya pengangguran. Faktor keenam ini dapat diatasi dengan adanya kesadaran kolektif bangsa untuk mengurai benang kusut pengangguran.
Pengangguran memang persoalan kompleks. Pengangguran tidak hanya menjadi penyakit bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi penyakit semua di negara di dunia.
Dalam Islam, materi pelajaran-pelajaran yang terkait dengan takdir, kita mengenal ada dua jenis takdir; takdir yang bisa diubah dan takdir yang tidak bisa diubah, melainkan telah menjadi ketentuan sejak azaali. Dalam kaitan pengangguran, pendapat Ulama kontemporer Yusf Qardhawi, yang membagi dua jenis pengangguran, menarik dikemukakan. Beliau membagi menjadi dua yaitu, pertama Pengangguran Jabariyah (terpaksa). Suatu pengangguran di mana seseorang tidak mempunyai hak sedikit pun memilih status ini dan terpaksa menerimanya. Pengangguran seperti ini umumnya terjadi karena seseorang tidak mempunyai keterampilan sedikitpun, yang sebenarnya bisa dipelajari sejak kecil sebagai modal untuk masa depannya atau seseorang telah mempunyai suatu keterampilan tetapi keterampilan ini tidak berguna sedikitpun karena adanya perubahan lingkungan dan perkembangan zaman.
Kedua, pengangguran Khiyariyah (pilihan). Seseorang yang memilih untuk menganggur padahal dia pada dasarnya adalah orang yang mampu untuk bekerja, namun pada kenyataannya dia memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi orang lain. Dia memilih hancur dengan potensi yang dimiliki dibandingkan menggunakannya untuk bekerja. Dia tidak pernah mengusahakan suatu pekerjaan dan mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi sampah masyarakat.
Adanya pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang menurut islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran jabariyah perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar mereka dapat bekerja. Sebaliknya, Islam tidak mengalokasikan dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada prinsipnya mereka memang tidak memerlukan bantuan, karena pada dasarnya mereka mampu untuk bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih menjadi beban bagi orang lain.
Dampak Pengangguran
Krisis ekonomi dan moneter pernah singgah di negeri ini pada kurun waktu 1997. Akibatnya, membawa dampak yang cukup luas dalam masyarakat. Salah satu indikator yang jelas adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang akan berpengaruh pada kondisi sosial, ekonomi, keamanan, politik dan stabilitas nasional. Permasalahan tersebut tidak dapat dipecahkan tanpa adanya introspeksi yang mendalam terhadap segala kebijaksanaan yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan ekonomi yang mengarah kepada ekonomi kerakyatan dan perencanaan yang bersifat bottom up perlu mendapat dukungan.
Pengangguran dilarang dalam Islam. Artinya, Islam tidak mengenal sama sekali orang yang berada dalam posisi tidak berbuat apa-apa (tidak melakukan aktivitas sosial ekonomi). Ingat dalam ajaran agama, sesuatu yang dilarang, perlu diketahui, sebab mengandung murka Allah. Kata lainnya, Allah tidak senang. Sedangkan bila sesuatu itu, dianjurkan, maka ada rahmat dan petunjuk Allah di dalamnya (hikmah).
Untuk itu perlu disebutkan dampak buruk dari pengagguran, antara lain yaitu; pertama, terganggunya stabilitas perekonomian. Dalam kaitan ini ada beberapa hal di dalamnya yaitu; melemahnya permintaan agregat, melemahnya penawaran agregat. Kedua, tergangggunya stabilitas sosial politik (Rahardja, 2008: 382). Dampak lain, yang lebih konkrit akibat dari pengangguran adalah; 1) ide dan gagasan tidak berkembang. Akibat dari ide dan gagasan yang tidak berkembang aspek-aspek potensial ekonomi (sumber daya alam/SDA) tidak berkembang, statis. 2) Terjadinya konflik horizontal. Saat di mana kemiskinan dan pengangguran merajalela, maka rasa malas akan muncul. Mengakibatkan terjadinya pencurian dan perampokan di sana-sini. 3) Tidak adanya jiwa kemandirian dan banyak lagi dampak buruk lainnya. Lenyapnya ta’awun (tolong-menolong). Inilah beberapa pokok yang sifatnya umum dari apa yang ditimbulkan pengangguran. Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Alhasil, pengangguran sangat bertentangan ajaran-ajaran Islam. Dalam konteks sosial ekonomi, pengangguran hanya akan mendatangkan kesengsaraan (kemiskinan, kemelaratan) dan membuat hidup tidak memiliki arti. Dalam konteks ajaran agama, pengangguran bukanlah substansi makna hidup dalam kehidupan. Juga dari beragam aspek sosial dan budaya, pendidikan dan politik.
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, imbas pandemic Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif yang bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis yakin seyakin-yakinnya bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini.
Khususnya di bidang ekonomi, dalam hal ini, aktivitas sosial ekonomi, Islam melarang pemeluknya untuk jadi pengangguran.
Sebaliknya, Islam menekankan pemeluknya, siapa saja untuk senantiasa rajin dan menolak semua bentuk dan ragam kemalasan? Ada ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tujuan manusia diciptakan oleh Allah ke muka bumi, adalah bertujuan ibadah (QS.Al-Dzariyat: 56).
Dari ayat tersebut dapat dicermati bahwa sesungguhnya, manusia hidup di muka bumi ini memiliki tujuan yang jelas. Karena tujuannya jelas, maka setiap manusia, tanpa kecuali harus meniti jalan yang diarahkan ‘jelas’ oleh Allah tersebut. Jika tujuan yang ingin dicapai jelas, maka cara dan metode serta pendekatannya pun memiliki tahapan-tahapan, langkah-langkah yang tepat, atau dalam bahasa ilmu organisasi dan atau manajemen, yaitu terstruktur. Ini menunjukkan bahwa ada perintah untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada tujuan yang ditempuh. Islam menganjurkan agar setiap orang diharapkan tidak meminta-minta. Malah, Islam mendorong pemeluknya agar berperan sebagai pemberi (al-yadul ulya, khairum min al-yadus as-supla: tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah). Hadist lain yang artinya, “Dunia ini bergetar, tidak ridho, kalau orang yang masih sehat tidak mampu melakukan apa-apa”. Melarang menjadi beban kehidupan orang lain/tetangga, melarang sikap malas, membenci segala bentuk sikap pasif dalam sesuatu yang ditujukan untuk sesuatu yang mulia. Sebaliknya, agama Allah mengharuskan, mewajibkan setiap orang untuk menghilangkan segala bentuk-bentuk dan praktik sikap (pasif) melainkan aktif (melakukan sesuatu), terlebih lagi dalam urusan ekonomi.
Setiap muslim, dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk selalu bangun pagi untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, Islam memotivasi pemeluknya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat (bekerja), bukan terlena dengan sikap malas dengan tidur kembali. Ini menunjukkan betapa Islam, bagi setiap orang--untuk bertindak aktif. Apakah ini tidak cukup bagi kita untuk berfikir bahwa agama melarang sikap malas?.
Kalau sikap malas, tidak mau bekerja dan enggan mencari nafkah, bagaimana seseorang bisa memenuhi kewajiban untuk memelihara, menjaga diri dan keluarganya? Sangat mustahil sesuatu yang kita inginkan tiba-tiba ada di hadapan kita. Segala sesuatu yang diinginkan pasti melalui proses, tak ada yang serba tiba-tiba, melainkan harus ada tindakan-tindakan dari seseorang yang menginginkan sesuatu itu.
Terdapat satu kisah menarik. Kisah ini menceritakan tentang sikap malas. Setidaknya, bisa menjadi gambaran bahwa Islam melarang umatnya; jadi pengangguran.
Seorang Imam Abu Hanifah. Suatu ketika sedang berjalan-jalan. Beliau melewati sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka. Pada saat itu beliau mendengar suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandung kata-kata, “Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Aku seorang pengangguran. Sejak pagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas ihsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik.”
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, lantaran Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif, bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis haqqul yakin bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini
Mendengar keluhan itu, ada perasaan yang dirasakan Abu Hanifah. Tanpa berpikir panjang, beliau balik pulang ke rumah. Dibawanya, bingkisan untuk ia berikan kepada orang itu. Dia pun sampai ke rumah orang itu dan melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya. Sesaat kemudian, si malang kaget melihat bingkisan yang tergeletak di sekitar rumahnya. Dalam hati si malang bertanya, “dari mana datangnya bingkisan ini?’ “Siapa yang menaruhnya?”. Namun demikian, tanpa berpikir panjang, si malang, dengan cepat mendekatinya, lantas membuka bingkisan tersebut. Setelah dibuka, ternyata bungkusan itu berisi uang dan secarik kertas yang bertulis, ”Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak perlu mengeluh tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah SWT dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus.”
Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melewati rumah itu lagi. Suara yang sama beliau dengar, seperti pertama kali mendengarnya. “Ya Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak memberiku, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai penentu nasibku.”
Mendengar keluhan itu lagi, Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu sangat gembira mendapat bungkusan itu. Lantas ia membukanya. Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada carikan kertas lalu dibacanya, “Hai kawan, bukan begitu cara memohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian, tiada lain dan tiada bukan; adalah perbuatan malas. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan berbuat demikian. Hendaklah bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak boleh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Saya doakan semoga cepat sukses.” Setelah selesai membaca surat itu, dia termenung. Dia insaf dan sadar akan kemalasannya karena selama ini dia tidak berikhtiar dan berusaha. Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak melupakan nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut, bagaimana agar seorang muslim tidak boleh diam berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu apapun yang bisa merubah hidupnya. Ada satu riwayat dari seorang Abu Zar dan Al-Hakim, “Sesungguhnya Ruhul Qudus membisikkan bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itulah kamu harus bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Jika datangnya rezeki itu terlambat maka jangan memburunya dengan bermaksiat karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan taat pada-Nya.”
Di sinilah semakin tergambar pentingnya memahami ekonomi syariah. Prinsip sistem ekonomi syariah adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan. Capaiannya adalah membawa perekonomian nasional pada pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan kokoh menghadapi krisis (Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia/MES-I, 2009-2023: 32).
Ekonomi syariah adalah ajaran praktik yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam. Segala bentuk praktik termasuk segala bentuk tindakan pasif (diam), seperti pengangguran, tidak diperkenankan titah ilahi yang terkandung dalam ajaran Islam. Banyak sekali pesan-pesan religius yang mendorong setiap orang untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi. Aktivitas sosial ekonomi, bisa menghasilkan manfaat yang banyak bagi kehidupan. Ajaran ekonomi syariah, sebagaimana diungkapkan Syafi’i Antonio “Memplaning untuk mereduksi pengangguran” menunjukkan bahwa gagasan-gagasan ekonomi syariah turut serta berupaya mengatasi problem ekonomi bangsa, pengangguran, upaya mengentaskan kemiskinan dan sebagainya.
Sikap nganggur (pengangguran) tidak ada dalam Islam. Al-Qur’an surat Al-Hud (ayat 6) menjadi jawaban bahwa Islam tidak mengajarkan pemeluknya jadi pengangguran: “Dan tidak ada satu hewan melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (laukhil mahfuzd).”
Pengangguran Beragam Jenis
Bicara tentang pengangguran, memang akan banyak hal dibahas dan diuraikan. Hal ini karena pengangguran ini beragam jenisnya. Dalam konsep umum, misalnya, menganggur tidak disamakan dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja. Orang yang tidak mau bekerja, tidak dikatakan sebagai pengangguran. Sebab jika dia ingin mencari pekerjaan (ingin bekerja), mungkin akan segera mendapatkannya. Jadi, singkat kata, definisi ekonomi tentang pengagguran tidak selalu identik dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang baru dikatakan mengangggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak mendapatkannya.
Gambaran di atas, tentu akan semakin memberikan sesuatu yang ndjlimet, sehingga yang tidak diperbolehkan agama sebagai kata pengangguran adalah yang mana dan konteks apa?. Pengangguran yang dimaksud dalam tulisan dan menjadi fokus; penganggguran yang melahirkan sifat malas, sama sekali tidak mau bekerja dan melakukan hal-hal positif agar memberi dampak ekonomi yang positif bagi diri, kelompok, masyarakat dan negara. Ini adalah kriteria umum pengangguran yang tidak dibolehkan dalam agama.
Dalam tulisan ini, akan dikemukakan beberapa point penting sejauh pemahaman penulis tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganggguran. Yang umum pengangguran bisa disebabkan; pertama, oleh adanya gap yang tajam antara angkatan kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja. Pendek kata, terjadi ketidakseimbangan apabila jumlah angkatan kerja lebih besar dari pada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang. Kedua, struktur lapangan kerja tidak seimbang. Ketiga, jumlah jenis tenaga terdidik dan tersedianya kesempatan kerja yang tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pedidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia. Keempat, adanya peningkatan peran dan aspirasi angkatan kerja wanita dalam seluruh struktur angkatan kerja Indonesia. Kelima, penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang. Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerahh lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya. Keenam. Kebijakan juga sering menjadi akibat yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Adanya keberpihakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang hanya memberi dukungan saja waktu pemilu juga menjadi bagian dari penyebab terjadinya pengangguran. Faktor keenam ini dapat diatasi dengan adanya kesadaran kolektif bangsa untuk mengurai benang kusut pengangguran.
Pengangguran memang persoalan kompleks. Pengangguran tidak hanya menjadi penyakit bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi penyakit semua di negara di dunia.
Dalam Islam, materi pelajaran-pelajaran yang terkait dengan takdir, kita mengenal ada dua jenis takdir; takdir yang bisa diubah dan takdir yang tidak bisa diubah, melainkan telah menjadi ketentuan sejak azaali. Dalam kaitan pengangguran, pendapat Ulama kontemporer Yusf Qardhawi, yang membagi dua jenis pengangguran, menarik dikemukakan. Beliau membagi menjadi dua yaitu, pertama Pengangguran Jabariyah (terpaksa). Suatu pengangguran di mana seseorang tidak mempunyai hak sedikit pun memilih status ini dan terpaksa menerimanya. Pengangguran seperti ini umumnya terjadi karena seseorang tidak mempunyai keterampilan sedikitpun, yang sebenarnya bisa dipelajari sejak kecil sebagai modal untuk masa depannya atau seseorang telah mempunyai suatu keterampilan tetapi keterampilan ini tidak berguna sedikitpun karena adanya perubahan lingkungan dan perkembangan zaman.
Kedua, pengangguran Khiyariyah (pilihan). Seseorang yang memilih untuk menganggur padahal dia pada dasarnya adalah orang yang mampu untuk bekerja, namun pada kenyataannya dia memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi orang lain. Dia memilih hancur dengan potensi yang dimiliki dibandingkan menggunakannya untuk bekerja. Dia tidak pernah mengusahakan suatu pekerjaan dan mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi sampah masyarakat.
Adanya pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang menurut islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran jabariyah perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar mereka dapat bekerja. Sebaliknya, Islam tidak mengalokasikan dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada prinsipnya mereka memang tidak memerlukan bantuan, karena pada dasarnya mereka mampu untuk bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih menjadi beban bagi orang lain.
Dampak Pengangguran
Krisis ekonomi dan moneter pernah singgah di negeri ini pada kurun waktu 1997. Akibatnya, membawa dampak yang cukup luas dalam masyarakat. Salah satu indikator yang jelas adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang akan berpengaruh pada kondisi sosial, ekonomi, keamanan, politik dan stabilitas nasional. Permasalahan tersebut tidak dapat dipecahkan tanpa adanya introspeksi yang mendalam terhadap segala kebijaksanaan yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan ekonomi yang mengarah kepada ekonomi kerakyatan dan perencanaan yang bersifat bottom up perlu mendapat dukungan.
Pengangguran dilarang dalam Islam. Artinya, Islam tidak mengenal sama sekali orang yang berada dalam posisi tidak berbuat apa-apa (tidak melakukan aktivitas sosial ekonomi). Ingat dalam ajaran agama, sesuatu yang dilarang, perlu diketahui, sebab mengandung murka Allah. Kata lainnya, Allah tidak senang. Sedangkan bila sesuatu itu, dianjurkan, maka ada rahmat dan petunjuk Allah di dalamnya (hikmah).
Untuk itu perlu disebutkan dampak buruk dari pengagguran, antara lain yaitu; pertama, terganggunya stabilitas perekonomian. Dalam kaitan ini ada beberapa hal di dalamnya yaitu; melemahnya permintaan agregat, melemahnya penawaran agregat. Kedua, tergangggunya stabilitas sosial politik (Rahardja, 2008: 382). Dampak lain, yang lebih konkrit akibat dari pengangguran adalah; 1) ide dan gagasan tidak berkembang. Akibat dari ide dan gagasan yang tidak berkembang aspek-aspek potensial ekonomi (sumber daya alam/SDA) tidak berkembang, statis. 2) Terjadinya konflik horizontal. Saat di mana kemiskinan dan pengangguran merajalela, maka rasa malas akan muncul. Mengakibatkan terjadinya pencurian dan perampokan di sana-sini. 3) Tidak adanya jiwa kemandirian dan banyak lagi dampak buruk lainnya. Lenyapnya ta’awun (tolong-menolong). Inilah beberapa pokok yang sifatnya umum dari apa yang ditimbulkan pengangguran. Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Alhasil, pengangguran sangat bertentangan ajaran-ajaran Islam. Dalam konteks sosial ekonomi, pengangguran hanya akan mendatangkan kesengsaraan (kemiskinan, kemelaratan) dan membuat hidup tidak memiliki arti. Dalam konteks ajaran agama, pengangguran bukanlah substansi makna hidup dalam kehidupan. Juga dari beragam aspek sosial dan budaya, pendidikan dan politik.
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, imbas pandemic Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif yang bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis yakin seyakin-yakinnya bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini.
Komentar
Posting Komentar