Langsung ke konten utama

Hidup Ini Nunggu Giliran

 

Hidup itu menunggu giliran. Tak lebih tak kurang. Kita saling tunggu, kita berganti posisi. Kita bergiliran menempati sesuatu. Yang tua diganti yang muda. Yang muda, suatu saat diganti oleh generasi yang umur pelanjut di bawahnya.


 sumber foto: https://www.google.com/search?q=NUNGGU+GILIRAN&sxsrf=


saat ini pun kita sedang menunggu, menunggu kapan segala sesuatu yang mengganggu kehidupan kita, lekas enyah dari hadapan kita


Hidup itu menunggu giliran. Iya, hidup itu pada hakikatnya tak lain dari sebuah penantian: menunggu giliran. Menunggu kapan lahir? Nunggu Kapan besar? Nunggu Kapan dewasa?

Begitu usia telah dewasa, nunggu juga. Menunggu kapan kawin ‘menikah’. Selepas menikah—resmi menjadi suami istri, menanti kapan punya momongan? Kalau sudah punya momongan, nunggu kapan bisa jalan, bisa ngomong. Lalu, menunggu juga kapan si kecil masuk TK, sekolah, hingga masuk perguruan tinggi. Dan pada akhirnya, setelah usia mencapai ewasa, menunggu si anak (putra-putri) kita itu, kapan kawin; kapan punya menantu. Nunggu kapan punya cucu....? dan seterusnya.

Yang tamat SMA, Nunggu kapan keinginan bisa terwujud. Yang mau kuliah; nunggu segera jadi mahasiswa. Setelah kuliah nunggu jadi sarjana. Begitu seterusnya..nunggu dan menunggu.

Yang tamat SMA, gak kuliah dan pingin kerja, nunggu dipanggil perushaan untuk segera jadi karyawan. Lalu kalau udah diterima, nunggu kapan gajian, nunggu kapan uang bertambah banyak. Begitu seterusnya. Nunggu dan menunggu.

Pendek kata, semua dalam proses menanti, menunggu. Yang nyalon Kades, nunggu keputusan: apakah jadi atau tidak. Begitu juga yang nyalon jadi dewan, walikota dan sebagainya.

Yang jadi, santri, pelajar, mahasiswa, nunggu kapan jadi 'orang'. Yang pacaran, nunggu kapan saat yang tepat untuk menikah. Setelah jadi suami istri, nunggu kapan punya momongan.

Yang jadi staf, nunggu kapan jadi staf. Yang jadi sekretaris, nunggu kapan jadi ketua. Semua menunggu.

Hidup ini diliputi penantian. Hidup diliputi rasa tak sabar. Hidup selalu diliputi rasa yang kadang tak menentu, kadang juga sangat diharapkan.

Sayangnya, banyak juga yang tak memahami prihal hidup ini: menunggu, sehingga seringkali ia terjebak, lalu terperosok jatuh ke lubang 'sesat'. Ambil contoh, karena tak sabaran nunggu kaya, cara-cara licik dilakukan. Mulai dari korupsi hingga merampok. Doyan bohongin rekan/sejawat. Kemarin bilang minjem uang karena susah, ketika punya uang untuk bayar pinjaman ia membuang muka dan tak mau mengembalikan.

Karena tak sabar ingin meraih impian dan harapannya, segala cara dilakukan. Semua cara ditempuh dan dihalakan. Semua di-merkup, semua dipalsukan.

Karena tak sabar ingin naik jabatan, isu-isu negatif ia lakukan agar orang yang ia anggap saingannya terdepak dari posisi yang dikejarnya selama ini.

Gegara tak sabaran ingin terkenal, isu hoax ia gencarkan. Tingkah laku aneh dan kontroversial ia tunjukkan ke publik.

Hampir semua kita tak sabaran. Yang beda itu tingkat dan sasaran yang ingin diraih. Juga pemahaman tentang hakikat yang mana seharusnya dan bukan semestinya.

Kita harus banyak belajar dan terus belajar. Terutama salah satu hakikat hidup yang kita alamatkan sebagai proses "menanti" dan "menunggu". Sekarang ini, kita pun sedang menunggu kapan Covi-19 enyah dan pergi jauh-jauh dari kehidupan kita. 

Hidup kita ini menunggu giliran. Begitu seterusnya, menunggu tiada henti. Menggantikan yang lain.....begitu sterusnya. Hidup ini: antrian. Antre nunggu kapan dipanggil maut, dipanggil menghadap ilahi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

salon motor dan Bayang-bayang semu

saat service motor SAYA hanya bisa geleng2 melihat begitu lihai kiri-kanan tangan Hadi--si tukang salon motor, saat mendandani tunggangan sy tadi pagi. Saya singgah ke tempat itu, selepas mengantar anak sekolah. Sehari-hari, Hadi, menghabiskan waktu menyaloni puluhan motor, mobil, aneka merek. Halaman teras rumahnya, ia jadikan tempat berkreativitas. Tak heran, dia tak perlu buru2 dikejar waktu hanya utk berangkat ngantor. Rumah mungil dan sederhana itulah yg ia jadikan tempat mendulang pundi-pundi rupiah. Yg unik bagi saya, Hadi, tidak butuh atribut seperti plank nama untuk promosi tempat kerjanya seperti kita lihat kebanyakan tempat di sektor bisnis (barang-jasa). Dia menggeser simbol2 promosi yg kerap kamuflase, itu dg bukti konkrit (hasil kerja) dan trust dari ratusan pelanggan.  "Saya gak pasang plank saja, insya Allah banyak pelanggan yg datang. Bahkan sy kewalahan. Apalagi salon motor ini, saya bikinin plank," kata  pria yang alumnus salah satu pesantren di

KELUYURAN ; Ajang Menikmati Waktu Senggang

foto : desa wisata Sade KELUYURAN sekiter sini-sini saja selalu bikin saya terkesima. Terkesima dg keunikan budaya, kebiasaan, panorama alam dan yang lain-lain. Apalagi bisa ke banyak tempat nun jauh di sono. Seneng keluyuran, membuat saya bermimpi mengunjungi banyak tempat. Tapi sayang keterbatasan itu kadang membuat langkah sedikit tersendat. Apalagi jika keluyuran ke sana kemari butuh transport, modal, kesiapan dan tetek bengek lainnya. Karenanya, dalam diam, keinginan-keinginan itu terpaksa harus dikubur.  Saat senggang, beberapa waktu lalu, saya nyoba keliling bareng si sulung. Saya awali dari ngajak dia ke museum. Di museum, ia terkaget-kaget melototin barang2 dan aneka macem yg menurut dia aneh. "Kok buku di kerangkeng. Kok ada buaya buatan di kurung dalam kaca," katanya.  "Kok ada foto, kok ada ini itu, di dalam kaca," sambungnya lagi penasaran.  Selepas dari museum, sy ajak lagi ke Sade. Penasarannya kambuh lagi. Kok atap rumah di sini beda ya,

Tembang (HUJAN MALAM MINGGU) dan Pentingnya Sikap REALISTIS

fhoto by : orliniza SAYA gak pernah kepikiran untuk ngopi dengan Capucino (sachetan), karena terbiasa ngopi Hitam. Saya pun gak pernah kepikiran untuk membaca buku berjudul, "Kata adalah Senjata" malam ini. Satu buku lama yg pernah saya beli secara online. Yang ada dalam pikiran saya, sejak dua bahkan tiga hari yang lalu : memenuhi janji bertamu ke rumah seseorang. Tapi apa yang terjadi? Hingga malam ketiga, janji itu tak bisa saya tunaikan. Padahal sedari awal saya siapkan. Justru sebaliknya, saya malah kejebak baca buku, ngopi sembari menikmati hujan malam minggu. Begitulah. Tak semua yg kita pikirkan, rencanakan, bisa terwujud. Justru yang tak terbersit di kepala sama sekali--malah itu yang terjadi ; itu yang kita lakukan. Itu yang kita peroleh. Dari sini, kita bisa mengambil hikmah, bahwa hidup harus kita jalani secara realistis. Hidup itu gak perlu neka-neko. Hidup gak penting membutuhkan seseorang banyak drama, apalagi pencitraan. Hiduplah seadanya, se