Sebegitu benih yang kau tanam, sebegitu pula hasil yang kau petik
Yuk kita sama-sama merenungi. Betapa Banyak hal yang kita alami dalam kehidupan. Tidak saja yang menyenangkan. Tetapi mengecewakan. Ada yang berlalu begitu saja. Ada juga yang menuntut penyelesaian dari kita: sikap kita seperti apa?
Seseorang tak bisa lepas dari sesuatu yang "mengecewakan" dan "menyenangkan". Hidup untuk merasai dua hal itu: kecewa-gembira. Tuhan--sang empunya hidup berkata, "Sesungguhnya aku (Allah) menciptakan kalian dalam susah payah," demikian peringatan Allah dalam kalamnya QS. Al-Balad ayat 4.
Inilah tapak demi tahap jalan kehidupan. Konsekuensi hidup begitu. Kadang kita berada di atas. Merasa bahagia. Di saat lain kita berada di bawah. Sedih, pedih, sakit hati pun menjadi luapan emosi yang kadang tak terkendali. Kita jadi sadar diri, manusia mahluk rapuh.
BACA JUGA : merasa selalu beruntung setiap saat
Dari semua pengalaman yang kita alami, rasanya tak akan berarti jika kita tidak merenungkannya, melakukan refleksi terhadapnya. Apalagi menyikapinya dengan baik. Memetik hikmah dari setiap proses yang telah kita lewati, sebagai salah satu atau dua jalan memaknai hidup. Allah menganjurkan hambanya, "Hendaklah kau memetik pelajaran dari setiap peristiwa duhai orang yang berfikir," (lihat QS.Al-Hasyr, 2).
Dalam kalimat Tuhan itu kita menemukan betapa Tuhan mengajak manusia untuk merenung. Mengambil hikmah, pelajaran dari beragam peristiwa. Sayang kemampuan memetik hikmah terbatas. Hanya milik mereka : orang yang berakal, punya wawasan.
Bagi saya, salah satu cara sederhana untuk menghadapi berbagai persoalan hidup memandangnya dari kacamata holistik 'menyeluruh' dan terbuka. Model ini, memungkinkan kita menilainya dari beragam perspektif. Kita pun lalu tidak bersikap kaku, berpandangan sempit. Perspektif paling sederhana. Misalnya melalui lelucon. Ya, humor.
Melalui humor, kita bahkan leluasa menyampaikan kritik. Ini pula yang kerap dilakukan cucu hadratus syekh Hasyim Asyari, alm KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur pernah menyatakan, "humor terbaik adalah menertawakan diri sendiri". Lewat kalimat Gus Dur, kita menemukan satu sikap: sebenarnya kita perlu menertawai diri kita sendiri atas laku hidup keseharian kita yang kerap tersita oleh hal yang tak serius, apalagi serius. Menyangkut sikap serakah kita terhadap sesuatu yang bendawi tetapi pada hakikatnya kita ogah menjadi bagian dari derita orang lain yang pantas kita beri perhatian. Kita patut menertawai cara kita membanggakan diri kita. Seringkali kita beranggapan kelompok kita paling benar. Yang lain sesat. Juga tingkah para pejabat yang hari ini ngomong itu, besok lain. Sementara penderitaan orang-orang tak berdaya tak jua ditemukan obatnya. Mata kita selalu buram melihat kebenaran. Tapi silau, akan kebohongan yang mempertontokan kesombongan. Lalu kita menyanjung-nyanjung karena dapet saweran amplop. Kebagian proyek.
Itulah mengapa kita perlu tertawa. Dengan ketawa, kita memandang berbagai kejadian secara jernih. Tak mudah terkesima. Tak juga mudah terobsesi. Tak juga plin plan dihadapkan keputusan ditengah persoalan yang dihadapi. Ungkapan Gus Dur, mungkin penting untuk kita jadikan semacam dalih penguat. Syukur-syukur sebagai motivasi, bahwa : hidup harus happy, bahagia. Dan letak kebahagiaan ada di kita. Seorang filsuf seperti Aristoteles, berkata : Kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri.
Kebahagiaan tidak terletak dan bergantung pada orang lain. Kita lah yang mencipta dan menyikapi semua yang kita hadapi dalam hidup ini.
Jika ingin bahagia, maka ciptakan sesuatu yang membuat anda bahagia. Kebaikan, kejujuran, sebagian dari proses menuju : bahagia. Jika tak ingin hidup bahagia dan terus dihinggapi cemas dan takut, itu terlepas karena laku keseharian yang setiap saat anda ciptakan. Tuhan memberikan peringatan : "Kejahatan apapun yang menimpa kalian berasal dari kalian sendiri" (QS. An-Nisa : 79).
Keterangan lain bisa kita sibak dalam kalam Tuhan yang secara tegas menyatakan : "Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri".
Secara ilmiah kita menemukan makna dari kalimat-kalimat indah dan agung yang diuraikan Tuhan itu. Seolah menegaskan kepada kita ungkapan berikut : Sebegitu benih yang kau tanam, sebegitu pula hasil yang kau petik.
Berkaitan di atas, Penulis buku 5 Tantangan Abadi terhadap Agama (2004), Fareed Ahmad menyatakan : manusia bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka lakukan.
Setali tiga uang--manusia juga menerima akibat dari kebaikan dan kemuliaan yang ia lakukan.
Point dari hidup bahagia itu : merayakan bahagia dan kecewa dengan hati lapang.
Mataram - Batulayar, Oktober 2025

Komentar
Posting Komentar