ilustration by viola artistik
Kematian adalah pengalaman akan kegelapan total yang radikal, yang datang menyergap manusia tanpa kompromi
“Tuhan, andai bisa memilih, ambil segala yang kumiliki,
ketimbang dikau ambil nyawa anakku”.
Demikian, kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu.
Air matanya mengalir deras. Mukanya memerah. Bibirnya basah.
Mulutnya kelu. Suaranya yang lembut tak bisa keluar. Ia tak bisa berkata-kata.
Hanya isak tangis. Bathinnya terguncang. Ada perasaan luar biasa yang tak
biasa. Berat. Sepertinya perempuan itu tak sanggup lagi hidup. Dalam keriuhan
duka, orang-orang di sekelilingnya menangis sejadi-jadinya. Saya melihat, Ia
tak menemukan yang ia inginkan saat situasi ramai. Justru dalam keramaian ia
merasa dicekam sepi. Sepi yang tak biasa. Sunyi seakan tak bertepi.
Perasaan-perasaan yang dialami perempuan itu tiba-tiba
datang. Tak ada isyarat. Apalagi tanda-tanda. Itu semua terjadi tatkala ia
menerima kabar bahwa anaknya si sulung, dikabarkan meninggal.
Bagaimana batinnya tidak terguncang, belum satu jam ia
melepas sekaligus mengantar putranya pergi ke sekolah. Sebentar kemudian, ia
menerima kabar yang sangat menyanyat hatinya itu: si bungsu putranya,
meninggal. Mendengar itu, batinnya terasa perih. Lebih perih dan sakit dari
sesakit-sakitnya sesuatu yang melukai tubuhnya. Tubuhnya seakan remuk. Raganya
hancur. Itu semua lantaran anak lelakinya yang masih belia itu pergi tuk
selamanya. Ia tak kan kembali.
Sesaat ia menerima kabar duka itu. Ia bergegas melangkah. Ia
berusah kuat. Ia memaksa kedua kakinya melangkah. Tapi sama saja--setali tiga uang--. Ia jatuh
pingsan.
Ia tersadarkan setelah tiba di rumah. Sementara putranya
sudah dipastikan meninggal oleh pihak Puskesmas setempat.
Kini, jasad anak itu tengah dihadapannya. Perempuan itu
memandanginya. Meratapi wajah anaknya. Kedua mata anak kesayangannya itu
terpejam. Sesaat kemudian tubuhnya segera diselimuti kain kafan. “tidak. Oh
tuhan……tidak,” perempuan itu berteriak.
Perempuan itu tak bisa berkata-kata. Tetiba, air matanya mengucur
deras.
Saya sendiri mendengar kabar kematian itu langsung
tersentak. Saat mendengar kabar dari istri, saya terdiam. Seakan tak percaya.
Tapi apa boleh dikata. Tak ada kata-kata yang lain yang lebih baik saya
ucapkan, “innalillah wainna ilaihi rojiun”.
Begitulah. Kabar kematian selalu membuat bathin terguncang.
Kematian selalu mengundang duka mendalam. Meski kabar kematian setiap saat kita
dengar, tetap saja, kematian selalu membuat kita terkejut. Segala rasa
bercampur. SegalaRasa Bahagia, berubah dalam sekejap. Sedih kian menjadi-jadi.
Kematian putra kesayangan perempuan itu, bukankah peristiwa
mengejutkan yang tak ada bedanya dengan kematian-kematian yang dialami oleh
manusia lainnya dalam hidup yang fana.? Meninggalnya bocah ingusan, itu
menegaskan pada kita bahwa kematian tak pernah memilah pilah umur. Maut tak
akan pernah peduli dengan umur kita tua maupun muda. Dewasa dan anak-anak
sekalipun bahkan sejak dalam buaian, maut pun datang kapan saja menyergap kita
dari berbagai arah.
Pada peristiwa lain, saya juga mendengar kabar kematian.
Seorang tokoh agama meninggal. Ia pergi dalam usia yang masih relatif muda.
Sebelumnya begitu. Kabar serupa terdengar merdu dari mikropon masjid yang tak
jauh dari rumah yang saya tempati.
Mendengar kata-kata itu, membuat kita terdiam sejenak. Kita menunduk. Jiwa kita terasa kosong. Seketika tatapan terasa hampa. Perasaan-perasaan yang kerapkali mampir saat tengah menyimak kabar duka. Kabar kematian.
Kita lalu merasa sadar. Bahwa kematian, kematian siapa saja,
“Sama-sama telah memberikan pesan teologis yang menyengat tentang arti
kehidupan dan kematian manusia beragama bahwa harta dan popularitas, bahkan
juga kekuasaan itu tidak ada yang abadi,” tulis Koten. Atau seperti yang
dinyatakan filsuf Karl Jaspers (1883-1969) bahwa kematian itu selalu
menghadapkan manusia pada situasi batas (grenz-situationem). Situasi batas ini,
bagi saya mengajarkan pada kita: kematian itu tak akan pernah kita tahu kapan datangnya.
Dalam konteks ini kemudian, kita seakan dipaksa untuk selalu berbuat baik. Atau
dalam Bahasa Koten : mendesakkan diri manusia untuk selalu berbuat baik, tanpa
memegahkan diri, meski kita sedang dan dalam situasi yang berselimut Bahagia
karena kesuksesan yang kita ikhtiarkan tengah kita nikmati.
Pasti kematian menghampiri kita
Kematian bocah itu, kematian tokoh itu, kematian siapa saja,
itu pasti datangnya. Sebagai sebuah kepastian, menandakan suatu perjalanan
manusia betapa pun canggih dan hebatnya tak pernah mamu kita hadapi. Maut tak
pernah bisa dilawan. Filsuf kenamaan seperti Epikuros (341-270 SM), seorang
filsuf klasik seperti dikutip Thomas Koten, menulis juga soal ketidaksanggupan
manusia menghadapi kematian ini dengan kata-kata: “……Selama kita masih hidup,
kematian itu belum ada, tetapi ketika kematian itu datang, kita tidak ada lagi”. Subhanallah.
Kematian. Yah kematian. Kematian tak lain problem teologis
yang rumit, pelik dan tak bisa diprediksi. Kematian tak cukup bisa digambarkan
dengan untaian-untaian bait-bait syair dan puisi. Teolog kenamaan Collopy lalu
menulis, kematian adalah momen yang paling gelap dan sulit bagi manusia, dan
sangat menggetarkan iman, tulis Koten. Masih menurut Collopy, bagi dia,
kematian adalah “Death is untheological". Kematian adalah pengalaman akan
kegelapan total yang radikal, yang datang menyergap manusia tanpa kompromi.
Dalam keaadaan ini, sesederhana itu bisa menyimpulkan: kematian (sang maut) itu
pasti datang. Jika ia datang, sedetikpun tak bisa bergeser. Yang sulit kita
prediksi ialah kapan datangnya. Tidak ada yang tahu menahu prihal itu. Ini
rahasia Tuhan. Misteri dari pengalaman hidup masing-masing manusia.
Lalu bagaimana menghadapinya? Apakah kita seperti sinyalemen
yang dinyatakan seorang ahli biologi, David Searls, bahwa memandang kematian
sebagai akhir kehidupan ibarat memandang kaki langit sebagai ujung samudera?
Atau seperti kata Heidegger, kematian merupakan cakrawala
eksistensial Dasein untuk memahami diri dan dunianya?
Apapun itu, kematian tergantung kita. Kita menghadapinya,
tak jauh-jauh dari sikap kita menjalani hidup. Perjalanan manusia (Saya, anda,
kita semua) tidak lain dari perjalanan yang selalu mengarah menuju kematian.
Misteri kematian terus menghantui kita.

Komentar
Posting Komentar