Ilustrasi pemanis
Kita tidak bisa menunggu untuk menciptakan perubahan. Setidaknya di antara kita, ada yang terus ikhtiar mengawal, menjadi aktor perubahan
LANGIT biru nan cerah di negeri ini seketika berubah kelam. Bak awan hitam menggelayut di atas kota. Lautan manusia bersitegang. Emosi tersulut. Kemarahan tak terkendali. Ada yang tangannya terkepal, menggenggam batu dan kayu dengan keras. Seolah-olah siap melepaskan semua kekesalan. Yang menenteng besi, semangat membara. Langkah cepat, bergerak maju. Pekik suara lantang menggema di udara, memecah kesunyian kota yang biasanya tenang. Sementara ratusan tameng pelindung para aparat berjejer, membentuk garis pertahanan yang kokoh. Ia ibarat tembok kokoh, siap membendung lemparan para kerumunan massa yang tengah mengamuk.
Itulah hari-hari yang mewarnai lautan massa aksi demonstrasi di berbagai daerah belum lama ini.
BACA : SKRIPSI DAN CINTA; KADO SPECIAL TERUNTUK MAHASISWA-MAHASISWI UNU NTB
Saya tahu kejadian itu persis saat mengaktifkan data selular. Tepatnya ketika membuka pesan di group watshap. Awalnya tak saya hiraukan. Saya lebih fokus, menikmati secangkir kopi dan hidangan saat rehat sejenak dari acara yang saya ikuti. Acara itu dihelat di salah satu Hotel.
Tapi tepat saat seruputan pertama kopi break saat itu, saya malah terpancing menggeser ponsel, membuka media sosial. Haduh..vidio aksi demonstrasi bergentayangan lewat beranda akun medsos saya. Satu sisi, seru. Sisi lain, membuat tegang.
Bagi saya pribadi. Fenomena semacam itu kerap saya lihat. Yang beda, rasa tegang agak memuncak.
Aksi demo itu biasa. Kita sudah sering menyaksikan. Saya yakin, anda juga. Yang tak biasa, demo tanpa bersikap anarkis. Nir kekerasan, brutalisme. Hanya saja secara pribadi saya maklum, tindakan anarkis sulit dihindari saat diselimuti kemelut massa. Dan anda tahu, betapa sulitnya membendung emosi dalam situasi seperti itu.
Kawan saya pernah cerita. Katanya, sombongnya para pejabat, oknum anggota dewan juga lazim kita saksikan. Terlebih lagi, mereka itu ditopang gaji dan fasilitas menggiurkan. Tak heran, sebagian dari mereka hidup bergelimang kemewahan.
Yang menarik juga, lanjut kawan saya itu. Jangankan jadi dewan, baru jadi pejabat di level desa saja, sudah petantang petenteng. Citra glamour dan sok berkuasa menjadi gambaran betapa buruknya politik di level desa. "Ada temen yang baru jadi Kades di desanya, eh gayanya selangit," cerita seorang kawan pada saya.
Kawanku begitu bersemangat mengumbar kondisi di desa kelahirannya. Saya menggangguk.
Fenomena hidup glamour para pejabat sudah menjadi rahasia umum. Sehingga tak heran, dalam sekejap perubahan terlihat jelas. Tak lain dan tidak bukan sikap jumawa yang melekat secara person. Asyiknya duduk di kursi kekuasaan dengan gaya hidup glamour memang mengasyikkan. Saking asyiknya, kian membuat kita lupa. Malah sebaliknya, dia justru merasa sebagai mahluk paling happy dan hebat. Paling wah dan (akuisme).
Lalu, sikap ceroboh masyarakat bertindak anarkis manakala dihadapkan sengitnya berada di tengah kemelut juga lumrah. Pun para aparat yang bertindak kasar terhadap masyarakat. Kita maklum.
Dalam kondisi yang serba dilema-simalakama kita sulit bersikap objektif. Kita seperti berada dalam situasi gelap : sulit menemukan sesuatu yang kita cari. Kita seolah berada dalam kejaran massa sementara di depan kita jurang tebing mengancam. Lengah sedikit, nyawa taruhannya.
Serba dilematis. Benar-benar kita berada dalam situasi sulit. Kemelut demonstrasi bak api dalam sekam.
Lebih jauh, pada prinsipnya, kritik dan demonstrasi dengan beragam bentuknya itu juga lumrah. Tentang aksi demo, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, berpandangan bahwa demonstrasi adalah sarana modern untuk menyuarakan pendapat dan menegakkan keadilan. Untuk itu, setiap kita berhak bersuara untuk menegakkan nilai-nilai moralitas yang sering diabaikan. Sama halnya, mengkritisi para pendemo. Ini juga lumrah. Sehingga tak heran, sebagian orang beranggapan untuk apa melakukan demo?
Selalu ada jalan
Sesulit apapun permasalahan, pasti ada kemudahan. "All street to the Rom," demikian kutipan para bijak bestari.
Dalam konteks ini, boleh jadi aksi demo, merupakan jalan yang mesti ditempuh untuk menampar para pejabat yang angkuh, sombong dan tidak peduli derita rakyat. Setidaknya, aksi demontrasi bisa menjadi alat perubahan. Saya ingat satu kutipan menarik. Kutipan itu dilontarkan Mahatma Gandhi. "Kita tidak bisa menunggu untuk membuat perubahan. Kita harus menjadi perubahan itu," katanya.
Karena itu, kita perlu juga memandang secara objektif bahwa aksi demo tak melulu dicitrakan negatif. Demonstrasi mesti dimaknai positif : menyuarakan dan menegakkan keadilan. Sama dengan aksi yang belum lama ini menyita perhatian publik punya tujuan dan motif tertentu.
Keadilan itu bagi saya bersifat ilusi-utopis. Tetapi bukan berarti mustahil diwujudkan
Konteks demonstrasi yang terjadi hari ini, bukan ujuq-ujuq 'demo'. Melainkan disebabkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil dan tidak transparan. Masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak peduli dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, sehingga mereka memilih untuk melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes.
Keadilan itu bagi saya bersifat ilusi-utopis. Tetapi bukan berarti mustahil diwujudkan. Untuk mencapainya, butuh mental dan sikap kritis. Tak hanya itu, tapi pemberani.
Eh udah dulu guys....pokoknya semoga kekacauan ini cepat berlalu. Yakinlah, ada terang usai dirundung gelap.

Komentar
Posting Komentar