|
MENARIK membaca editorial Bali Post
“Membangun Keseimbangan dari Devisa Pariwisata” (Edisi 10, Juli 2012), yang
sekaligus menjadi inspirasi artikel ini. Apalagi jika tulisan itu dikaitkan
dengan perkembangan pariwisata di NTB. Sebab sebagaimana diketahui serta
dirasakan oleh masyarakat, beberapa tahun terakhir, bidang pariwisata terus
menggeliat.
Pencapaian menggembirakan di sektor
ini, satu sisi sebuah kabar menyejukkan, apalagi yang sudah peras keringat
banting tulang menenteng program ini bagi daerah. Di sisi lain, jelaslah
menggembirakan para pelaku wisata di tingkatan grassroat. Tugas pers yang
ikut mewarnai dinamika tersebut semakin membuat publik tahu prihal itu. Dan
memang, sektor pariwisata merupakan satu program prioritas selain beberapa
program lain. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika prestasi bergengsi
dalam pengembangan bidang pariwisata pun diraih oleh pemerintah beberapa
waktu lalu. Tak lepas pula berkat usaha, kegigihan dan perjuangan elemen
masyarakat tanpa kecuali.
Namun demikian, di tengah pencapaian
dan prestasi gemilang yang telah diraih, patut pula dipertimbangkan
berbagai hal mengkhawatirkan sebagai imbas dari pariwisata. Baik dalam
hubungannya dengan sosial budaya, ekonomi, dan agama. Maka dari itu, bukan
suatu hal yang mengagetkan ketika media (cetak-eletronik) di daerah
menyajikan informasi mengenai dilema pengembangan pariwisata dengan
berbagai berbagai sudut pandang. Tulisan seorang wartawan Fathul Rakhman
dari Lombok Post yang dimuat secara bersambung (14/7/2011) dengan judul
“kisah warga pesisir yang makin tersisih”, misalnya. Menguraikan bahwa
dibalik berkembangnya pariwisata, justru menjadi ancaman. Sementara tulisan
lain seperti diketemukan pada harian ini di rubrik Identitas “Pariwisata
Berkembang Kriminalitas Menghadang” (28/7/2011) yang sedikitnya menyebutkan
bahwa berkembanganya pariwisata menjadi asal muasal persoalan sosial
ekonomi dan kriminalitas di tengah kehidupan masyarakat khususnya wilayah
Lombok bagian selatan. Tulisan lain bertalian dengan itupun tidak sedikit
jumlahnya. Besar ongkos sosial untuk pengembangan sektor pariwisata, besar
pula taruhan yang harus dikorbankan.
Di pulau Bali, kaitannya dengan sektor
pariwisata sebagaimana editorial yang ditulis Bali Post, menyebutkan bahwa
porsi sumbangan negara kepada pulau Bali, belum setara untuk mampu
meringankan beban masyarakat dalam pemeliharaan budayanya. Pendapat ini mengemuka,
dengan beberapa alasan yang juga disampaikan dalam tulisan itu, antara lain
sebab sebagaimana diketahui, sebagai penghasil devisa yang berasal dari
pariwisata, Bali telah jelas memberikan sumbangan yang signifikan kepada
pendapatan nasional. Triliunan rupiah disumbangkan oleh pulau ini kepada
negara. Namun, tetap, ukuran nominal sebesar itu, dikatakan masih belum
impas (setimpal).
Secara pribadi, jika membaca dengan
hati tenang serta kepala jernih, saya menganggap tulisan itu sangat
menarik: inspiring dan menggugah. Karena itu, uraian Pers mengenai
persoalan wisata di pulau dewata sana yang berangkat dari realitas sosial
masyarakat di Bali layak dijadikan referensi dan dilakukan pengkajian lebih
mendalam atasnya, terlebih bagi masyarakat NTB, di saat tengah dirasakannya
betul oleh masyarakat segala pencapaian dalam bidang yang satu ini. Namun
pada bagian lain kita masih tetap abai terhadap akibat besar imbas
pariwisata.
Dilema fenomena di atas,
meng-(ingatkan) saya pada penelitian yang ditulis seorang teman sebagai
syarat menuntaskan program strata satu (S1) di IAIN Mataram sekitar tahun
2009. Waktu itu, kebetulan saya ikut menemani. Di samping tertarik dengan
persoalan yang akan diteliti sebab lainnya karena lokasi penelitian dengan
tempat tinggal saya juga tak begitu jauh sehingga dapat menghemat biaya.
Kurang lebih permasalahan yang diajukan sebagai latar belakang
penelitiannya adalah mengurai benang kusut pariwisata ikhwal dampak baik
dan buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. Karya tulis tersebut menguak
berbagai sisi positif serta dampak buruk yang ditimbulkan pariwisata bagi
lingkungan dan anak didik generasi muda baik ditinjau dari sudut sosial
ekonomi, budaya terlebih agama. Secara ringkas, dalam karya ilmiah tersebut
disampaikan bahwa kualitas kehidupan suatu masyarakat (pedesaan), tidak
tepat jika hanya diukur dari tingkat kemakmuran secara material yang
diperoleh dari sektor pariwisata. Suatu pernyataan serupa dan dapat
dipertautkan dengan apa yang disebutkan editorial Bali Post tersebut. Malah
sebaliknya, mutu kehidupan akan meningkat terutama oleh kekayaan wawasan
budaya yang telah lama berakar dalam rentang sejarah. Wawasan kebudayaan
inilah yang harus diprioritaskan untuk ditangani dalam menghadapi kegoyahan
nilai-nilai serta norma-norma oleh berbagai pengaruh yang timbul akibat
perkembangan pariwisata, bahkan bisa terjadi konflik. Pariwisata mau tidak
mau memberi pengaruh sangat besar terutama terhadap pola tingkah laku anak
didik generasi muda yang rentan menerima hal baru yang mereka jumpai.
Ketidakberdayaan mempertahankan perilaku, bukanlah kesalahan besar bagi
anak yang belum mengerti tentang hakekat hidup yang sebenarnya, khususnya
dan bagi masyarakat pada umumnya. Namun demikian, harus perlu diupayakan
berbagai hal untuk dapat mengakomodir hal semacam itu. Bagaimana agar orang
tua dalam keluarga harus tetap berwibawa bagi anak-anaknya; kehidupan
keluarga yang bersangkutan apabila melibatkan diri/terkait secara langsung
dengan proses perkembangan pariwisata, maka orang tua harus mampu
mempersiapkan anak-anaknya menjadi manusia pekerja sekaligus manusia
budaya, manusia yang sesuai dengan ketentuan agama. Bagaimana seorang
pendidik mampu menanamkan moralitas dan perilaku baik yang dapat memayungi
kpribadian anak dalam laku hidup sehari-hari agar tidak mudah terjerumus.
Terpenting lagi, bagaimana kemudian pemerintah dapat mengambil langkah yang
serasi dan tepat untuk menerapkan kebijakan, yang merupakan salah satu mata
rantai untuk menetapkan hal-hal seperti itu.
Semua itu, dalam rangka dan tujuan
“minimal” untuk menyeimbangi berbagai keburukan yang dimungkinkan timbul.
Sebab, dari perkembangan pariwisata tersebut mau tidak mau memberi pengaruh
budaya wisatawan asing. Berkenaan dampak positif dan negatif ini, menurut
Dawam Rahardjo (2007:4-5), sangat bisa terjadi, yang secara tidak disadari
muncul akibat perjumpaan dua atau beberapa budaya asing sehingga
mengakibatkan masyarakat terisolir, kemudian memunculkan gesekan dan
benturan kuat yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Alih fungsi
lahan yang banyak dijadikan hotel, villa, cafe-karaoke (tempat hiburan
malam) yang berderet sepanjang jalan, bahkan (maaf) sebagai tempat
melakukan maksiat/perilaku mesum. Hal seperti itu “tidak mungin tidak”
jelas disadari oleh masyarakat-semua kita. Jadi, bukanlah mustahil tidak
memicu konflik atau pertikaian dan sebagainya.
Cobalah berkunjung, terutama di salah
satu kawasan wisata Senggigi hingga pelosok terpencil dan kawasan
sekitarnya. Di dalamnya berbaur berbagai kebudayaan asing-tabu dengan
kehidupan orang-orang luar dari mancanegara, yang harus jujur diakui
memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Bagi para
generasi muda, di era globalisasi dan perkembangan pariwisata yang begitu
pesat masyarakat sebagai pendukung nilai tradisional yang tercermin dalam
pola tingkah laku kesehariannya memang tidak harus bertahan dalam proses
interaksi sosial yang universal. Akan tetapi jika mereka berkeinginan untuk
mempertahankan nilai kebudayaan tradisional harus didukung oleh berbagai
unsur agar tidak mudah tergeser oleh budaya luar dan perkembangan zaman.
Budaya yang memperkaya ciri dan karakteristik khas masyarakat tersebut
harus ditarik, diangkat dan dipromosikan kepada generasi muda. (Suara NTB,
“Semakin banyak Kebudayaan Tergerus Zaman”, 3/07/2012).
Dampak Buruk
dan Negatif
Opini yang mengemuka sebagai bentuk
rasa cemas dan khawatir tergerusnya budaya lokal dan sebagainya seperti
kasus di pulau Bali patut dijadikan referensi untuk dapat mengimbangi
program pengembangan pariwisata di NTB. Baik dan positif yang akan
ditimbulkan tetap ada. Keberadaan sektor pariwisata yang dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan
secara ekonomi, standar hidup, serta menstimulasi sektor-sektor produktif
lainnya. Selanjutnya sebagai sektor yang kompleks ia juga merealisasi
industri-industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan cinderamata,
penginapan, dan transportasi secara ekonomis. Di samping itu juga pengaruh
yang ditimbulkan tercermin pula pada gaya hidup (life style) masyarakat penduduk
di desa penerima wisatawan sebab terjalin hubungan/kontak langsung secara
terus menerus antara penduduk setempat dengan wisatawan tersebut. Pengaruh
paling sering dan mudah dilihat adalah pada pola konsumsi wisatawan.
Identifikasi Badan Narkotika Provinsi (BNP), menyebutkan bahwa lokasi
pariwisata rentan menjadi tempat peredaran narkoba dan barang haram
lainnya, cukup beralasan. Indikasi ini, menurut BNP, menguat mengingat
tingginya mobilisasi besar-besaran wisatawan asing dan domestik di kawasan
wisata. (Suara NTB, 06/7/2012). Tentu saja, menjadi kegalauan semua
pihak.
Musuh bersama yang harus kita perangi
adalah kekuatan budaya luar yang hendak menggerus nilai-nilai budaya, agama
dan bangsa ini secara perlahan. Secara garis besar, dua hal penting yang
peneliti ajukan dalam Skripsinya yang sekaligus sebagai bentuk kerisauannya
terhadap perkembangan di daerah layak dipikirkan semua pihak meski bukan
penelitian level “Magister: S2”. Dua hal penting itu; 1) Alternatif solusi;
agar tidak terjadi ketimpangan salah satunya adalah menjalin kerjasama yang
lebih baik agar tidak terjadi tumpang tindih antara tujuan pariwisata
dengan nilai-nilai agung itu; dan; 2) Pola pembinaan pariwisata sebagai
kegiatan terkoordinasi secara terus menerus merupakan hal penting dalam
mengantisipasi dampak negatif kepariwisataan.
|
Komentar
Posting Komentar