Keseimbangan, Di Tengah Menggeliatnya Pariwisata Di NTB

 



 

 

http://www.suarantb.com/Images/round.gifhttp://www.suarantb.com/Images/transf.gif

RedaksiIklanArsiphttp://www.suarantb.com/Images/transf.gifHalaman UtamaHari Ini

 

http://www.suarantb.com/Images/transf.gif

 

http://www.suarantb.com/Images/transf.gif

Keseimbangan, Di Tengah Menggeliatnya Pariwisata Di NTB
Oleh: Masyhur
Pegiat Sosial Keagamaan

 

http://www.suarantb.com/Images/transf.gif

 

 

updated: Selasa 17/07/2012

MENARIK membaca editorial Bali Post “Membangun Keseimbangan dari Devisa Pariwisata” (Edisi 10, Juli 2012), yang sekaligus menjadi inspirasi artikel ini. Apalagi jika tulisan itu dikaitkan dengan perkembangan pariwisata di NTB. Sebab sebagaimana diketahui serta dirasakan oleh masyarakat, beberapa tahun terakhir, bidang pariwisata terus menggeliat.

Pencapaian menggembirakan di sektor ini, satu sisi sebuah kabar menyejukkan, apalagi yang sudah peras keringat banting tulang menenteng program ini bagi daerah. Di sisi lain, jelaslah menggembirakan para pelaku wisata di tingkatan grassroat. Tugas pers yang ikut mewarnai dinamika tersebut semakin membuat publik tahu prihal itu. Dan memang, sektor pariwisata merupakan satu program prioritas selain beberapa program lain. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika prestasi bergengsi dalam pengembangan bidang pariwisata pun diraih oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Tak lepas pula berkat usaha, kegigihan dan perjuangan elemen masyarakat tanpa kecuali.

Namun demikian, di tengah pencapaian dan prestasi gemilang yang telah diraih, patut pula dipertimbangkan berbagai hal mengkhawatirkan sebagai imbas dari pariwisata. Baik dalam hubungannya dengan sosial budaya, ekonomi, dan agama. Maka dari itu, bukan suatu hal yang mengagetkan ketika media (cetak-eletronik) di daerah menyajikan informasi mengenai dilema pengembangan pariwisata dengan berbagai berbagai sudut pandang. Tulisan seorang wartawan Fathul Rakhman dari Lombok Post yang dimuat secara bersambung (14/7/2011) dengan judul “kisah warga pesisir yang makin tersisih”, misalnya. Menguraikan bahwa dibalik berkembangnya pariwisata, justru menjadi ancaman. Sementara tulisan lain seperti diketemukan pada harian ini di rubrik Identitas “Pariwisata Berkembang Kriminalitas Menghadang” (28/7/2011) yang sedikitnya menyebutkan bahwa berkembanganya pariwisata menjadi asal muasal persoalan sosial ekonomi dan kriminalitas di tengah kehidupan masyarakat khususnya wilayah Lombok bagian selatan. Tulisan lain bertalian dengan itupun tidak sedikit jumlahnya. Besar ongkos sosial untuk pengembangan sektor pariwisata, besar pula taruhan yang harus dikorbankan.

Di pulau Bali, kaitannya dengan sektor pariwisata sebagaimana editorial yang ditulis Bali Post, menyebutkan bahwa porsi sumbangan negara kepada pulau Bali, belum setara untuk mampu meringankan beban masyarakat dalam pemeliharaan budayanya. Pendapat ini mengemuka, dengan beberapa alasan yang juga disampaikan dalam tulisan itu, antara lain sebab sebagaimana diketahui, sebagai penghasil devisa yang berasal dari pariwisata, Bali telah jelas memberikan sumbangan yang signifikan kepada pendapatan nasional. Triliunan rupiah disumbangkan oleh pulau ini kepada negara. Namun, tetap, ukuran nominal sebesar itu, dikatakan masih belum impas (setimpal).

Secara pribadi, jika membaca dengan hati tenang serta kepala jernih, saya menganggap tulisan itu sangat menarik: inspiring dan menggugah. Karena itu, uraian Pers mengenai persoalan wisata di pulau dewata sana yang berangkat dari realitas sosial masyarakat di Bali layak dijadikan referensi dan dilakukan pengkajian lebih mendalam atasnya, terlebih bagi masyarakat NTB, di saat tengah dirasakannya betul oleh masyarakat segala pencapaian dalam bidang yang satu ini. Namun pada bagian lain kita masih tetap abai terhadap akibat besar imbas pariwisata.

Dilema fenomena di atas, meng-(ingatkan) saya pada penelitian yang ditulis seorang teman sebagai syarat menuntaskan program strata satu (S1) di IAIN Mataram sekitar tahun 2009. Waktu itu, kebetulan saya ikut menemani. Di samping tertarik dengan persoalan yang akan diteliti sebab lainnya karena lokasi penelitian dengan tempat tinggal saya juga tak begitu jauh sehingga dapat menghemat biaya. Kurang lebih permasalahan yang diajukan sebagai latar belakang penelitiannya adalah mengurai benang kusut pariwisata ikhwal dampak baik dan buruk bagi kehidupan sosial masyarakat. Karya tulis tersebut menguak berbagai sisi positif serta dampak buruk yang ditimbulkan pariwisata bagi lingkungan dan anak didik generasi muda baik ditinjau dari sudut sosial ekonomi, budaya terlebih agama. Secara ringkas, dalam karya ilmiah tersebut disampaikan bahwa kualitas kehidupan suatu masyarakat (pedesaan), tidak tepat jika hanya diukur dari tingkat kemakmuran secara material yang diperoleh dari sektor pariwisata. Suatu pernyataan serupa dan dapat dipertautkan dengan apa yang disebutkan editorial Bali Post tersebut. Malah sebaliknya, mutu kehidupan akan meningkat terutama oleh kekayaan wawasan budaya yang telah lama berakar dalam rentang sejarah. Wawasan kebudayaan inilah yang harus diprioritaskan untuk ditangani dalam menghadapi kegoyahan nilai-nilai serta norma-norma oleh berbagai pengaruh yang timbul akibat perkembangan pariwisata, bahkan bisa terjadi konflik. Pariwisata mau tidak mau memberi pengaruh sangat besar terutama terhadap pola tingkah laku anak didik generasi muda yang rentan menerima hal baru yang mereka jumpai. Ketidakberdayaan mempertahankan perilaku, bukanlah kesalahan besar bagi anak yang belum mengerti tentang hakekat hidup yang sebenarnya, khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Namun demikian, harus perlu diupayakan berbagai hal untuk dapat mengakomodir hal semacam itu. Bagaimana agar orang tua dalam keluarga harus tetap berwibawa bagi anak-anaknya; kehidupan keluarga yang bersangkutan apabila melibatkan diri/terkait secara langsung dengan proses perkembangan pariwisata, maka orang tua harus mampu mempersiapkan anak-anaknya menjadi manusia pekerja sekaligus manusia budaya, manusia yang sesuai dengan ketentuan agama. Bagaimana seorang pendidik mampu menanamkan moralitas dan perilaku baik yang dapat memayungi kpribadian anak dalam laku hidup sehari-hari agar tidak mudah terjerumus. Terpenting lagi, bagaimana kemudian pemerintah dapat mengambil langkah yang serasi dan tepat untuk menerapkan kebijakan, yang merupakan salah satu mata rantai untuk menetapkan hal-hal seperti itu.

Semua itu, dalam rangka dan tujuan “minimal” untuk menyeimbangi berbagai keburukan yang dimungkinkan timbul. Sebab, dari perkembangan pariwisata tersebut mau tidak mau memberi pengaruh budaya wisatawan asing. Berkenaan dampak positif dan negatif ini, menurut Dawam Rahardjo (2007:4-5), sangat bisa terjadi, yang secara tidak disadari muncul akibat perjumpaan dua atau beberapa budaya asing sehingga mengakibatkan masyarakat terisolir, kemudian memunculkan gesekan dan benturan kuat yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Alih fungsi lahan yang banyak dijadikan hotel, villa, cafe-karaoke (tempat hiburan malam) yang berderet sepanjang jalan, bahkan (maaf) sebagai tempat melakukan maksiat/perilaku mesum. Hal seperti itu “tidak mungin tidak” jelas disadari oleh masyarakat-semua kita. Jadi, bukanlah mustahil tidak memicu konflik atau pertikaian dan sebagainya.

Cobalah berkunjung, terutama di salah satu kawasan wisata Senggigi hingga pelosok terpencil dan kawasan sekitarnya. Di dalamnya berbaur berbagai kebudayaan asing-tabu dengan kehidupan orang-orang luar dari mancanegara, yang harus jujur diakui memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Bagi para generasi muda, di era globalisasi dan perkembangan pariwisata yang begitu pesat masyarakat sebagai pendukung nilai tradisional yang tercermin dalam pola tingkah laku kesehariannya memang tidak harus bertahan dalam proses interaksi sosial yang universal. Akan tetapi jika mereka berkeinginan untuk mempertahankan nilai kebudayaan tradisional harus didukung oleh berbagai unsur agar tidak mudah tergeser oleh budaya luar dan perkembangan zaman. Budaya yang memperkaya ciri dan karakteristik khas masyarakat tersebut harus ditarik, diangkat dan dipromosikan kepada generasi muda. (Suara NTB, “Semakin banyak Kebudayaan Tergerus Zaman”, 3/07/2012).

Dampak Buruk dan Negatif

Opini yang mengemuka sebagai bentuk rasa cemas dan khawatir tergerusnya budaya lokal dan sebagainya seperti kasus di pulau Bali patut dijadikan referensi untuk dapat mengimbangi program pengembangan pariwisata di NTB. Baik dan positif yang akan ditimbulkan tetap ada. Keberadaan sektor pariwisata yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan secara ekonomi, standar hidup, serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya sebagai sektor yang kompleks ia juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan cinderamata, penginapan, dan transportasi secara ekonomis. Di samping itu juga pengaruh yang ditimbulkan tercermin pula pada gaya hidup (life style) masyarakat penduduk di desa penerima wisatawan sebab terjalin hubungan/kontak langsung secara terus menerus antara penduduk setempat dengan wisatawan tersebut. Pengaruh paling sering dan mudah dilihat adalah pada pola konsumsi wisatawan. Identifikasi Badan Narkotika Provinsi (BNP), menyebutkan bahwa lokasi pariwisata rentan menjadi tempat peredaran narkoba dan barang haram lainnya, cukup beralasan. Indikasi ini, menurut BNP, menguat mengingat tingginya mobilisasi besar-besaran wisatawan asing dan domestik di kawasan wisata. (Suara NTB, 06/7/2012). Tentu saja, menjadi kegalauan semua pihak. 

Musuh bersama yang harus kita perangi adalah kekuatan budaya luar yang hendak menggerus nilai-nilai budaya, agama dan bangsa ini secara perlahan. Secara garis besar, dua hal penting yang peneliti ajukan dalam Skripsinya yang sekaligus sebagai bentuk kerisauannya terhadap perkembangan di daerah layak dipikirkan semua pihak meski bukan penelitian level “Magister: S2”. Dua hal penting itu; 1) Alternatif solusi; agar tidak terjadi ketimpangan salah satunya adalah menjalin kerjasama yang lebih baik agar tidak terjadi tumpang tindih antara tujuan pariwisata dengan nilai-nilai agung itu; dan; 2) Pola pembinaan pariwisata sebagai kegiatan terkoordinasi secara terus menerus merupakan hal penting dalam mengantisipasi dampak negatif kepariwisataan.

 

@Copyright Suara NTB

 

Komentar