SEPARO publik tentu punya persepsi beda tentang sosok HOTMAN PARIS dan ROCKY GERUNG. Di satu sisi punya pandangan, positif. Sisi lainnnya, berpandangan negatif. Publik tentu punya alasan masing-masing.
Misalnya yang nganggep sebagian publik tentang Hotman Paris sebagai dia terkesan sok hebat dan kaya raya. (Hmm..tapi memang dia tajir melintir). Lalu, Rocky Gerung yang terkesan sok pintar dan paling kritis.
Terlepas apapun itu, secara tidak langsung ngasi kita pelajaran berharga. Bahwa dengan kekayaan yang Tuhan anugerahkan dan titip pada kita di samping memberi manfaat--jika tak mampu dimanage scara baik sering kali harta melimpah dan karir cemerlang membuat kita terjebak pada sikap sombong dan merasa paling 'akuisme'. Begitu juga dengan kepintaran dan kecerdasan yang Tuhan anugerahkan pada seseorang. Ia juga kerapkali bikin kita sombong. Tak hanya itu, kita pun kemudian lebih suka ngeremehin orang lain: Nganggep ini, nganggep itu lah. Ketimbang memberikan sanjungan.
HP - RG bagi saya keduanya orang hebat. Dua-duanya juga sukses di bidang masing-masing. Mereka aktivis tulen, karena punya kontribusi nyata bagi sekelilingnya.
HP misalnya, dengan sikap nyentriknya selalu membuat masyarakat terbantu dalam perkara-perkara yang berkaitan bidang hukum. RG juga begitu. Ia tak hanya lantang bersuara untuk kepentingan rakyat tetapi juga berperan besar dalam mengedukasi masyarakat di bidang demokrasi. Anda tahu tidak, saya menikmati seteru dua orang itu.
Perdebatan keduanya, tampak selalu seru. Keduanya saling cibir gegara pilpres. Kalau GP berada di kubu 02 sedang RG berada di ranah kebebasan dan demokrasi dan keadilan yang tentu saja tidak tampak memihak salah satu calon. Unggahan vidio netizen di berbagai flatform medsos terus berseliweran.
Ya. Begitulah. Panggung kehidupan : mulai dari kekuasaan, jabatan, popularitas dan lainnya, gemerlapnya yang menyilaukan mata--selalu menggoda, bikin kita terbuai dimabuk kepayang.
Siapa yang benar?
Muncul pertanyaan siapa yang yang paling benar?
Bagi saya kedua-duanya benar. Kedua-duanya bahkan bisa keliru dalam memandang dan melihat suatu persoalan. Kita punya hak untuk berpendapat. Kita berhak setuju atau tidak terhadap sosok keduanya.
Saya pikir ini adalah cara pandang yang realistis. Artinya, bahwa tidak semua yang berasal dari orang, sesuai dan cocok lantas kita jadikan pegangan seutuhnya.
Tapi begitulah. Pendek kata, ibarat sebatang pohon. Kian tinggi status, jabatan dan eksistensi seseorang kian keras pula terjangan angin badai yang menerpanya.
Nilai filosofisnya, kita bisa memetik hikmah, pelajaran dari setiap kejadian, peristiwa. Sikap ini diperlukan ketika suatu saat kita diuji oleh sang maha hidup. Kalau modal kita numpuk, insya Allah, kita bisa tetap bertahan dari badai dan ujian.
Bukankah kita sering berujar sesuatu yang ideal, sesuatu yang bersifat utopia, sementara kadang kita belum mengalami apa yang orang lain. Belum merasakan apa yang orang lain rasakan? Ya, saya pikir ini beralasan.
Wallahusubhaanahuwa ta'ala a'lam.
Pantai Senggigi, 20 April 2024
Komentar
Posting Komentar