Langsung ke konten utama

Usia Tua dan Kursi Tua



penulis saat duduk di kursi tua


Ada situasi batas, yang membelenggu kita, hingga kadang mimpi-mimpi itu tak kunjungi kita realisasikan. Tetapi apapun itu, tetaplah kita : berikhtiar. Kita harus terus menggantung cita dan mimpi kita




SAAT itu, selepas makan malam, saya menikmati sebatang rokok. Agar lebih nyaman, saya mengambil kursi tua. Kursi itu dulunya berupa patahan-patahan, lalu pada seorang teman saya minta tolong untuk merakitnya agar kembali menjadi : sebuah kursi. Kursi itu, kini bisa saya gunakan. Itulah kursi tua itu. Malam ini saya letakkan, tepat depan teras rumah. Saya duduk di situ.

Saya berharap suatu saat kursi tua itu bisa saya ganti dengan sofa. Sofa dengan design unik berwarna merah tua, nan MAHAL. dan MEWAH. Apa bisa? 

Hah ! Yang penting sudah saya simpang rapi di memori saya.

"Tua"..kata ini menarik. Dan semestinya siapa saja mesti tergugah--tergugah sedalam-dalamnya dengan kata yang satu ini. Yah...harusnnya, begitu. Bukankah kita pasti 'tua'.

Setiap kita pasti menjadi : tua. Ketika usia sudah tua, tak banyak yang bisa kita lakukan. Di masa-masa itu, kita tak punya mimpi-mimpi lagi. Tenaga sudah berkurang. Wajah makin keriput. Segala sesuatu yang membatasi 'ruang gerak', melekat dalam diri kita di masa 'tua' itu.

Kita hanya punya harapan, harapan bahwa di usia yang tak lagi muda itu, kita tidak neko-neko. Sebaliknya, di masa 'tua' kita bisa menikmati hidup ini penuh enjoy, tak lupa ibadah, lalu mati dalam keadaan khusnul hotimah.

Saya membayangkan di masa tua itu, saya bisa seperti malam ini. Selepas makan malam, jika dokter tidak melarang--saya tetap bisa menikmati sebatang rokok. Selepas itu, saya menggendong cucu. Jika cucu sudah tertidur lelap, saya bisa membaca buku.   Sebentar kemudian, pukul 02.00 malam saya terbangun untuk sholat tahajjud. Di masa tua itu, Saya bisa membuang waktu saya dengan hal-hal positif, terutama yang memberikan dampak baik bagi orang lain. 

Tapi saat ini, sy masih merasa muda, walaupun sejatinya umur sudah semakin berkurang, kita pun lalu menjadi : Tua.  Meski demikian, semangat saya masih menyala-nyala. Ia bagai kobaran api.

Ada banyak angan dan mimpi-mimpi. Sederet impian dan harapan itu, tertanam kuat di jiwa. Kedua tanganku mengenggamnya erat. Kakiku masih kuat untuk berlari 'mengejarnya'. Mengejar angan dan mimpi-mimpi itu.

Hanya saja, kita terbentur 'batasan'. Ada "gren situationem"--meminjam istilah filosof Karl Jasper. Ada situasi batas, yang membelenggu kita, hingga kadang mimpi-mimpi itu tak kunjungi kita realisasikan. Tetapi apapun itu, tetaplah kita : berikhtiar. Kita harus terus menggantung cita dan mimpi kita. 

Tetapi impian-harapan yang paling tinggi adalah, Tuhan menganugerahkan saya nikmat kesehatan. Kalau sehat, saya bisa melakukan banyak hal. Saya bisa ikut menyumbang tenaga dan pikiran untuk orang lain dalam banyak hal. Yang terpenting lagi, jika anugerah sehat itu, selalu ada, saya tetap bisa melakukan hal-hal bermanfaat, terutama bagi diri saya dan keluarga saya.

Anda juga mesti begitu kawan !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

salon motor dan Bayang-bayang semu

saat service motor SAYA hanya bisa geleng2 melihat begitu lihai kiri-kanan tangan Hadi--si tukang salon motor, saat mendandani tunggangan sy tadi pagi. Saya singgah ke tempat itu, selepas mengantar anak sekolah. Sehari-hari, Hadi, menghabiskan waktu menyaloni puluhan motor, mobil, aneka merek. Halaman teras rumahnya, ia jadikan tempat berkreativitas. Tak heran, dia tak perlu buru2 dikejar waktu hanya utk berangkat ngantor. Rumah mungil dan sederhana itulah yg ia jadikan tempat mendulang pundi-pundi rupiah. Yg unik bagi saya, Hadi, tidak butuh atribut seperti plank nama untuk promosi tempat kerjanya seperti kita lihat kebanyakan tempat di sektor bisnis (barang-jasa). Dia menggeser simbol2 promosi yg kerap kamuflase, itu dg bukti konkrit (hasil kerja) dan trust dari ratusan pelanggan.  "Saya gak pasang plank saja, insya Allah banyak pelanggan yg datang. Bahkan sy kewalahan. Apalagi salon motor ini, saya bikinin plank," kata  pria yang alumnus salah satu pesantren di

KELUYURAN ; Ajang Menikmati Waktu Senggang

foto : desa wisata Sade KELUYURAN sekiter sini-sini saja selalu bikin saya terkesima. Terkesima dg keunikan budaya, kebiasaan, panorama alam dan yang lain-lain. Apalagi bisa ke banyak tempat nun jauh di sono. Seneng keluyuran, membuat saya bermimpi mengunjungi banyak tempat. Tapi sayang keterbatasan itu kadang membuat langkah sedikit tersendat. Apalagi jika keluyuran ke sana kemari butuh transport, modal, kesiapan dan tetek bengek lainnya. Karenanya, dalam diam, keinginan-keinginan itu terpaksa harus dikubur.  Saat senggang, beberapa waktu lalu, saya nyoba keliling bareng si sulung. Saya awali dari ngajak dia ke museum. Di museum, ia terkaget-kaget melototin barang2 dan aneka macem yg menurut dia aneh. "Kok buku di kerangkeng. Kok ada buaya buatan di kurung dalam kaca," katanya.  "Kok ada foto, kok ada ini itu, di dalam kaca," sambungnya lagi penasaran.  Selepas dari museum, sy ajak lagi ke Sade. Penasarannya kambuh lagi. Kok atap rumah di sini beda ya,

Tembang (HUJAN MALAM MINGGU) dan Pentingnya Sikap REALISTIS

fhoto by : orliniza SAYA gak pernah kepikiran untuk ngopi dengan Capucino (sachetan), karena terbiasa ngopi Hitam. Saya pun gak pernah kepikiran untuk membaca buku berjudul, "Kata adalah Senjata" malam ini. Satu buku lama yg pernah saya beli secara online. Yang ada dalam pikiran saya, sejak dua bahkan tiga hari yang lalu : memenuhi janji bertamu ke rumah seseorang. Tapi apa yang terjadi? Hingga malam ketiga, janji itu tak bisa saya tunaikan. Padahal sedari awal saya siapkan. Justru sebaliknya, saya malah kejebak baca buku, ngopi sembari menikmati hujan malam minggu. Begitulah. Tak semua yg kita pikirkan, rencanakan, bisa terwujud. Justru yang tak terbersit di kepala sama sekali--malah itu yang terjadi ; itu yang kita lakukan. Itu yang kita peroleh. Dari sini, kita bisa mengambil hikmah, bahwa hidup harus kita jalani secara realistis. Hidup itu gak perlu neka-neko. Hidup gak penting membutuhkan seseorang banyak drama, apalagi pencitraan. Hiduplah seadanya, se