Kita bisa tahu rentetan kisah, perjalanan dan beragam peritiwa masa lalu, melalui cerita-cerita dan tuturan orang yang kita tanya dan mintai informasi: keterangan.
Lalu, informasi yang kita dapatkan, apa yang dituturkan, diceritakan, itu tak lain rangkaian kata kata sebagai ejawantah bahasa. Ia direalisir ke dalam kisah, cerita dan dongeng. Maka ketika suatu cerita, dongeng, yang tak punya jejak atau sumber yang tak bisa ditelusur, kehadiran sebuah kata-kata menjadi penting untuk ia utarakan kepada pada pemburu data, informasi. Maka tampak jelas, betapa sebuah 'kata-kata' memiliki sesuatu yang dahsyat.
Hebatnya kata kata mampu menampakkan yang tak jelas menjadi lebih terlihat, bahkan menjadikan suatu yang tiada menjadi ada, terlepas apakah sesuatu yang dibuat itu memang meng(ada-ada) atau benar adanya.
Kata kata memang sakti. Ia merupakan uraian dari apa yang diungkapkan seseorang melalui tuturan tuturan yang bisa membuat orang mengerti dan memahami segala hal. Kata kata memang kelewat sakti.
Ketika sumber berupa catatan, dokumen, atau yang lainnya tidak ada, di sini peran kata-kata sepertinya harus menjadi sumber utama untuk dijadikan pegangan. Kata-kata yang dimaksud dalam kaitan ini, tak lain dan tiada bukan: cerita, tuturan-tuturan dari orang yang pernah hidup sezaman, pernah dekat dengan objek/tokoh (yang digali sejarah hidupnya). Atau minimal orang yang menuturkan tahu rekam jejak si tokoh.
Kenapa, menelanjangi sejarah hidup orang/tokoh itu penting? Iya tentu penting lah. Kita bisa mencari teladan, kita bisa belajar dan mereguk hikmah sejarah kehidupan mereka.
Lalu kalau sudah terdokumentasi utuh seperti buku bagaimana? Jawabnya: iya ketimbang tidak ada. Lebih baik ada, meski tidak semua tertarik untuk melihat apalagi membaca. Jika ini faktanya: di sinilah peran kita, tugas semua, agar kita berikhtiar untuk mengubah itu.
Sekarang kita menulis para pendahulu kita. Besok dan di kemudian hari anak anak kita juga melakukan hal yang sama. Tapi kalau kita tidak memberi contoh pada anak dan generasi muda, memulainya dari sekarang, sangat tidak mungkin mereka akan menulis. Apalagi peduli terhadap instruksi sang pencipta untuk melek literasi, sebagaimana tertulis dalam QS al-alaq.
Berikut surat Al Alaq ayat 1-5 :
1)Membaca dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia; 4. Yang mengajar (manusia) dengan pena; 5). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Memahami lepas kalam Allah di atas, meneguhkan bahwa sesuatu yang dipelajari manusia yang tidak terlepas dari ilmu pengetahuan, maka instrumen 'tulisan' yang merupakan perwujudan dari ilmu pengetahuan sungguh luar biasa. Kata itu telah menjadi senjata untuk memahami dan memberikan pemahaman pada manusia.
Komentar
Posting Komentar