saat penulis menginjakkan kaki di gili air
Saya balik lagi, dengan satu harapan. Usaha yang saya rintis empat tahun silam itu, bisa dibangun, dikembangkan. Syukur-syukur bisa menghasilkan cuan berlimpah
SEBELUM gempa tahun 2018 saya mencoba mengembangkan usaha Asongan di Gili Air. Belum setahun, hasilnya dapat dinikmati.
Tapi sayang tak bertahan lama. Gempa bumi melanda. Usaha asongan yang saya rintis tumbang. Sejak itu, aktivitas sosial, pariwisata di pulau cantik ini mati suri. Kondisi mengerikan itu, membuat Gili Air, tak ubahnya rumah tak berpenghuni. Sepi nan senyap. Tak ada kehidupan. Tak sedikit saudara-saudara kita meronta dalam nestapa musibah beruntun itu. Bagaimana menyikapi musibah?
Tentu tetap berlapang dada, tetap berdoa dan berusaha.
Berdoa agar tetap istiqomah dan selalu berfikir positif. Sedang berusaha, tak lain, agar seseorang itu bukan malah lemas terkulai menerima kegagalan tetapi menyambutnya dengan kepalan tangan dan menatap optimisme ke depan.
Usai gempa, berharap ada seberkas cahaya. Yang bisa membawa terang, bahwa aktivitas ekonomi akan kembali menggeliat. Lalu turis pun berbondong2 datang menginjakkan kaki. Malah sebaliknya, pandemi covid-19 datang menghantam. Varian virus itu meluluh lantahkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Harapan itu seketika padam. Kembali, harapan dan mimpi-mimpi itu harus saya kubur dalam-dalam.
Sejak itu, lebih kurang tiga tahun tak ada lagi keinginan nyebrang ke pulau itu. Meski begitu, saya tetap punya rencana. Kedua kaki harus singgah.
Tapi sayang tak bertahan lama. Gempa bumi melanda. Usaha asongan yang saya rintis tumbang. Sejak itu, aktivitas sosial, pariwisata di pulau cantik ini mati suri. Kondisi mengerikan itu, membuat Gili Air, tak ubahnya rumah tak berpenghuni. Sepi nan senyap. Tak ada kehidupan. Tak sedikit saudara-saudara kita meronta dalam nestapa musibah beruntun itu. Bagaimana menyikapi musibah?
Tentu tetap berlapang dada, tetap berdoa dan berusaha.
Berdoa agar tetap istiqomah dan selalu berfikir positif. Sedang berusaha, tak lain, agar seseorang itu bukan malah lemas terkulai menerima kegagalan tetapi menyambutnya dengan kepalan tangan dan menatap optimisme ke depan.
Usai gempa, berharap ada seberkas cahaya. Yang bisa membawa terang, bahwa aktivitas ekonomi akan kembali menggeliat. Lalu turis pun berbondong2 datang menginjakkan kaki. Malah sebaliknya, pandemi covid-19 datang menghantam. Varian virus itu meluluh lantahkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Harapan itu seketika padam. Kembali, harapan dan mimpi-mimpi itu harus saya kubur dalam-dalam.
Sejak itu, lebih kurang tiga tahun tak ada lagi keinginan nyebrang ke pulau itu. Meski begitu, saya tetap punya rencana. Kedua kaki harus singgah.
bersih bersih lapak jualan di gili air
Dan alhamdulillah, agenda ke Gili yg sy planningkan beberapa minggu lalu, hari ini kesampaian (Minggu, 16/5).
Di sini, sepintas dilihat, aktivitas sosial ekonomi mulai tampak 'hidup'. Turis dari berbagai mancanegara kian banyak. Dari jauh kupandangi sepanjang bibir pantai. Tampak sekujur tubuh bohae (bule') terlentang. Mereka menikmati sengatan mentari bersama kilau pasit putih. Hmm..untung bukan sy. "Kalau iya, bisa gosong badan ini," aku mendehem.
Sembari itu, alunan merdu musik barat, bikin kepala mereka terangguk-angguk. Kaki bergoyang. Tubuh lenggak-lenggok. Dengan terpaksa badan ini sesekali ikutan. Hah.
lokasi lapak saat belum dibersihkan
Singgah di Gili Air Minggu itu asyik dan bikin enjoy. Penat dan stres bisa hilang, sebab, suguhan panorama alam yg natural. Belum lagi keciap aneka suara burung yang nyaring serta udara yang sejuk dan segar. Pokoknya kren.
Sy balik lagi, dengan satu harapan. Usaha yg dirintis empat tahun silam itu, bisa dibangun, dikembangkan. Syukur-syukur bisa menghasilkan cuan berlimpah. Nah, kalau cuan banyak, kan gampang ikut kompetisi Pileg 2024. Kren kan. Kelak jika sukses melenggang jadi : dewan, insya Allah perkeluarga sy gratisi madu perbotol ukuran 150 mili. Biar mereka tahu betapa besar manfaat minum madu walau sesendok.
Eh, syang beribu sayang. Sudah capek dandan-dandan dari rumah supaya dianggap org sbg tamu kren yg sedang liburan serta datang--dari pulau nun jauh di sana, eh malah sebaliknya. Setiba di lokasi saya harus bersih-bersih lapak jualan lantaran lapak yang disewa amburadul dan tak sedap dipandang mata. Walah...walah...
"Tapi tak apa lah," desahku. Kan kalau udah enak dipandang mata: turis gak sungkan mampir. Dan saya pikir ini, salah satu strategi yg bisa bikin konsumen tidak berpaling.
Eits..jangan lupa saling kirim doa: semoga semua kita sehat, sukses dan mndpat berkah.
Salam Penjual Madu
Komentar
Posting Komentar